Pemerintah Amerika Serikat Uji Coba untuk Deteksi Kerusakan Otak Sebelum Alzheimer
pada tanggal
Sunday, June 27, 2021
WASHINGTON, LELEMUKU.COM - Badan Pengawas Obat Amerika (FDA) baru saja menyetujui obat yang hanya bisa digunakan pada tahap awal Alzheimer. Persetujuan itu semakin mendorong ditemukannya alat yang bisa mengidentifikasi orang yang berisiko penyakit itu, jauh sebelum gejala-gejalanya timbul. Sistem Kesehatan Nasional Inggris sedang menguji coba tes untuk membantu mendiagnosis gangguan kognitif ringan, yang diyakini banyak peneliti sebagai tanda-tanda sebelum Alzheimer.
Paul Henderson menjalani tes yang berperan dalam mendeteksi tanda-tanda risiko demensia. Program dengan bantuan kecerdasan buatan tersebut telah dikembangkan untuk memungkinkan dokter umum, petugas kesehatan, dan lainnya membantu mengidentifikasi orang yang memiliki gangguan kognitif ringan atau mild cognitive impairment, disingkat MCI.
Gangguan bisa berupa penurunan daya ingat dan memengaruhi bahasa, persepsi spasial dan visual.
Saat ini program itu sedang diuji coba atau digunakan oleh National Institute for Health Research Inggris di 18 rumah sakit, termasuk Kings College di London. Cognetivity, perusahaan yang membuat alat itu, mengatakan kesederhanaan program itu memungkinkan pupusnya hambatan bahasa, tidak seperti beberapa tes di rumah sakit. Alat itu memunculkan foto-foto secara acak dan orang harus mengidentifikasi apakah itu binatang atau benda mati.
"Masalah terbesar tes seperti itu adalah membiasakan diri untuk mengikuti kecepatan. Apa yang kita lihat adalah perubahan gambar yang terjadi terus dan kita tidak tahu gambar apa yang akan muncul, sehingga saya hampir saja mengumpat ke diri saya sendiri sewaktu menjalaninya," kataHenderson.
Dua tahun ini Henderson, kini usia 72 tahun, mulai menjadi pelupa dan keluarganya mulai menyadari hal itu. Dokter mendiagnosis Alzheimer, meskipun pada tahap awal. Hasil pemindaian otak dan tes lain mengukuhkan diagnosis itu.
Henderson ikut percobaan di mana peneliti membandingkan hasil dan kemajuan dari tiga kelompok: orang-orang seperti Henderson yang menderita penyakit, orang-orang yang belum menderita demensia tetapi mengalami MCI, dan kelompok yang sehat. Ia juga minum obat percobaan, tetapi untuk beberapa tahun dia tidak tahu apakah obat itu plasebo atau obat yang sebenarnya.
Tes ini telah dikembangkan selama beberapa tahun, dan beberapa uji coba mengetes peserta setiap hari untuk mengetahui apakah ada pola yang bisa dikenali yang dapat mengidentifikasi penyakit.
"Ini (Alzheimer) dapat berarti bahwa mungkin saya bahkan tidak dapat berbicara dalam waktu satu atau dua tahun, atau saya betul-betul lupa banyak hal. Ya, itu cukup menakutkan, tetapi hal-hal lain ini semua berlalu karena kita memiliki semua pasukan yang baik, termasuk orang-orang di sini, bekerja keras, mencari tahu. Jadi, kita mulai semakin percaya diri," jawabnya.
Henderson mengikuti saran spesialis demensia. Ia mengubah pola makan dan berolahraga secara teratur. Terlibat dalam pencobaan itu juga membantunya melihat ke depan secara positif.
Profesor Dag Aarsland adalah kepala kedokteran neurogeriatrik pada Kings College London. Ia duduk dalam dewan penasihat Cognetivity yang mengembangkan tes tersebut. Pembatasan perjalanan terkait COVID-19 membuatnya tidak bisa kembali ke Inggris dari rumahnya di Norwegia, tetapi dia masih bisa mengikuti temuan uji coba itu.
"Ini bukan tes diagnostik suatu penyakit, melainkan tes tentang kinerja kita. Kalau kita mampu melakukannya, itu adalah langkah pertama yang sangat penting dalam proses membuat diagnosis penyakit Alzheimer," kataDag Aarsland.
Sedangkan Chief Operating Officer Cognetivity Dr. Paul Sawyer mengatakan,"Yang benar-benar kami ukur adalah kecepatan pemrosesan informasi. Ini benar-benar pemrosesan kekuatan inti otak, dan kami melakukannya dengan memaparkan subjek ke rangkaian gambar berdurasi pendek.”
Sawyer dan Aarsland percaya tes ini tidak terlalu umum dan mengkaji fungsi tertentu otak. (VOAIndonesia)