-->

Meski Pengadilan Minta Tunda, Pempus Dukung Pelaksanaan Pemilu 2024

Meski Pengadilan Minta Tunda, Pempus Dukung Pelaksanaan Pemilu 2024

JAKARTA PUSAT, LELEMUKU.COM - Pemerintah Pusat pada Jumat (3/3/2023) menyatakan tetap mendukung pelaksanaan Pemilu 2024 kendati Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meminta menunda rangkaian pemilihan setidaknya hingga tahun depan, setelah hakim memenangkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur terhadap Komisi Pemilihan Umum.

Sehari sebelumnya majelis PN Jakarta Pusat beranggotakan tiga hakim yang dipimpin Tengku Oyong mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang menyatakan partai tersebut tidak memenuhi syarat sebagai peserta Pemilu 2024.

Dalam berkas putusan setebal 100 halaman, Oyong berpendapat bahwa KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum komisi untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 lebih kurang dua tahun empat bulan tujuh hari terhitung sejak putusan diucapkan dan mengulang tahapan pemilihan sedari awal untuk periode sama.

"Kepada masyarakat untuk tetap tenang dan menjaga suasana kondusif. Jangan terprovokasi gerakan yang mengeruhkan suasana," kata kata Deputi V Kantor Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardhani, Jumat menanggapi putusan PN Jakarta Pusat tersebut dalam keterangan tertulisnya.

Menurut Jaleswari, pemerintah akan memfasilitasi tahapan pelaksanaan pemilu seperti yang sudah ditetapkan KPU, “Pemerintah tetap berkomitmen mendukung pelaksanaan Pemilu 2024 sesuai jadwal yang telah ditetapkan KPU," kata Jaleswari.

Partai Prima mendaftarkan gugatan terhadap KPU ke PN Jakarta Pusat pada 8 Desember 2022, usai dua gugatan awal ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menemui jalan buntu.

Bawaslu menolak gugatan Partai Prima, sementara PTUN dalam putusannya menyatakan bahwa mereka tidak berhak mengadili dan memutus objek sengketa yang diajukan partai. Keputusan PN sendiri belum akan berlaku resmi karena belum memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht).

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD melalui akun Twitter-nya, @mohmahfudmd, pada Jumat mengatakan keputusan tersebut harus dilawan karena PN Jakarta Pusat memutus perkara yang tidak sesuai kewenangannya.

"...Ini di luar yurisdiksi. Sama dengan Pengadilan Militer memutus kasus perceraian. Hukum pemilu bukan hukum perdata. Vonis itu bertentangan dengan UUD 1945 dan UU bahwa pemilu dilakukan setiap 5 tahun," kata Mahfud yang juga mantan ketua Mahkamah Konstitusi.

KPU, dalam keterangan pers, kemarin menyatakan akan mengajukan banding atas putusan PN Jakarta Pusat.

"...Nanti kalau sudah menerima salinan putusan, kami akan mengajukan upaya hukum berikutnya yakni banding ke pengadilan tinggi," kata Ketua KPU Hasyim Asyari.

Bantah meminta penundaan pemilu

Saat ini, pemilu telah memasuki tahapan penetapan jumlah kursi dan daerah pemilihan untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Partai peserta pemilu telah ditetapkan pada akhir Desember tahun lalu, sebanyak 24 partai – tujuh di antaranya partai politik lokal Aceh, sementara pemungutan suara akan digelar pada 14 Februari 2024.

Ketua Umum Partai Prima Agus Jabo Priyono, dalam keterangan pers di Jakarta, Jumat, membantah bahwa partainya meminta penundaan pemilu, dengan menyebut pernyataan itu bermuatan politis.

"Bukan penundaan, tapi penghentian proses. Dihitung dari awal. Kalau mau penundaan, frame-nya politik. Kami enggak masuk ke sana," kata Agus, seraya beralasan bahwa keputusan menggugat ke PN Jakarta Pusat tidak terkait sengketa pemilu.

"Itu sebagai upaya memperjuangkan hak sipil kami sebagai warga negara yang mendirikan parpol," ujarnya.

Sejumlah pakar hukum tata negara mengkritisi putusan tersebut, menyebut PN Jakarta Pusat sejatinya tidak berwenang memutus perkara tersebut.

Pakar mengkritik

Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan perkara Partai Prima yang tidak lolos menjadi peserta pemilihan adalah sengketa proses pemilu sehingga PN Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan.

"PN tidak diperkenankan memutus menunda pemilu. Kalau PN bisa melakukannya, maka akan banyak PN lain yang melakukannya," kata Feri kepada BenarNews, sembari menambahkan bahwa tidak ada pula aturan yang membolehkan penundaan nasional seperti putusan PN Jakarta Pusat.

Dalam UU Pemilu hanya dikenal pemilihan susulan atau lanjutan yang disebabkan keadaan darurat seperti bencana alam atau kerusuhan. Penundaan atau susulan pun hanya di daerah yang tidak dapat melangsungkan pemilihan sesuai jadwal tersebut, terang Feri.

Pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera Bivitri Susanti menambahkan PN Jakarta Pusat mestinya menolak gugatan perdata Partai Prima sedari awal.

"Argumen mereka (Partai Prima) bahwa KPU melakukan perbuatan melawan hukum. Kalau melawan hukum mestinya ke PTUN, tapi kok diterima oleh PN," kata Bivitri kepada BenarNews.

"Mereka juga meminta ganti rugi immaterial dengan menunda pemilu. Kalau perdata dampak hukumnya seharusnya hanya dua pihak yakni penggugat dan tergugat, bukan untuk umum seperti ini. Menurut saya, ini keputusan yang salah dan melanggar konstitusi."

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menilai poin gugatan Partai Prima telah bermasalah sejak awal karena sebagai partai yang tidak lolos verifikasi justru tidak meminta verifikasi ulang dalam gugatannya dan malah meminta penundaan pemilu.

"Saya menduga berkaitan dengan itu (wacana penundaan pemilu), karena petitum mereka bermasalah dari awal," ujar Fadli kepada BenarNews.

Begitu pula pandangan Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS), Noory Okthariza yang menilai ada kelompok terorganisir di balik putusan PN Jakarta Pusat, seraya menolak menyebut kelompok tersebut.

"Sulit untuk tidak melihat keputusan PN Jakarta Pusat sebagai bagian dari, dengan segala hormat, kelompok-kelompok yang menginginkan pemilu ditunda," kata Noory dalam keterangan pers virtual di Jakarta.

Wacana penundaan

Wacana penundaan pemilu pertama kali diembuskan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia pada 10 Januari 2022 dengan alasan menjaga stabilitas perekonomian yang baru pulih dari pandemi COVID-19.

Tak lama, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar ikut bersuara menyokong penundaan pemilu, disusul Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada Maret 2022 yang mengklaim memiliki big data yang menyatakan setidaknya 110 juta warga ingin pemilu ditunda untuk menjaga kondisi sosial politik dan ekonomi.

Ketua Departemen Politik dan Departemen Sosial di CSIS Arya Fernandes menilai keputusan penundaan pemilu justru akan memberi dampak buruk.

"Memunculkan instabilitas baru dan kegaduhan politik baru serta menimbulkan protes dari publik. Ekonomi juga jadi tidak pasti. Pemerintah kesulitan dalam mengeksekusi program strategis nasional, dan menimbulkan ke-tidak-percaya-an dari investor," kata Arya.

Pun, penilaian Koordinator Komunitas Pemilu Bersih, Jeirry Sumampow, yang menyebut penundaan justru hanya akan menghadirkan kerepotan dalam banyak sisi.

"Di samping tidak ada kepastian hukum, juga bisa menjadi ruang politik untuk menciptakan ketidakstabilan demokrasi," kata Jeirry dalam keterangan diterima BenarNews.

Terkait desakan memeriksa majelis hakim perkara Partai Prima, Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Miko Ginting mengatakan akan memanggil hakim perkara tersebut, tapi tak memerinci waktu pemeriksaan

"KY akan berkomunikasi dengan Mahkamah Agung terkait dengan putusan ini serta aspek perilaku hakim yang terkait," kata Miko dalam keterangan tertulis

(Tria Dianti / Arie Firdaus | BenarNews)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel