Arcandra Tahar Nilai Disrupsi Gross Split Selamatkan Industri Migas
pada tanggal
Thursday, February 21, 2019
JAKARTA, LELEMUKU.COM - Lesunya geliat bisnis industri minyak dan gas bumi (migas) global menuntun adanya terobosan baru. Terobosan inilah yang disebut oleh Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar sebagai disrupsi, dilakukan untuk menyelamatkan industri migas, dengan melakukan perubahan tatanan pasar yang sudah ada sebelumnya.
"Kita punya dua pilihan, kalau tidak mau men-disrupt diri sendiri dengan perubahan yang sangat cepat, kita sendiri yang kena disrupt oleh perubahan yang cepat tersebut," kata Arcandra dalam Seminar Energi 2019 yang diadakan oleh Ikatan Alumni Teknik Geologi ITB Bandung di Energy Building Jakarta, Selasa (19/2).
Indikasi menurunnya geliat industri migas terlihat saat Pemerintah menawarkan blok-blok migas dalam kurun waktu dua tahun, yaitu 2015 dan 2016. "2015 tidak laku, begitu juga 2016. Kita mulai mendiskusikan kenapa tidak laku. Mulai dari harga minyak yang rendah hingga sistem rezim fiskal kurang mendukung," kata Arcandra.
Pemerintah, jelas Arcandra, kemudian mengambil sikap tegas dengan mengganti sistem rezim yang ada, cost recovery, menjadi sistem bagi hasil gross split. "Dari semua perdebatan, Kami memberanikan diri untuk men-disrupt sistem rezim fiskal yang ada," ungkapnya.
Arcandra menilai gross split mendapat respon positif yang ditandai dengan naiknya minat dunia usaha untuk menanamkan modalnya di Indonesia pada sektor migas. "Ada keyaknian dalam mengubah sistem fiskal itu tidak mudah, banyak tantangan dan banyak yang merasa sedikit terganggu dengan sistem yang belum dikenal ini," katanya.
Namun, fakta membuktikan setelah fiskal ini diterapkan oleh Pemerintah, tercatat hingga pertengahan Februari 2019, sudah ada 40 Wilayah Kerja (WK) Migas yang menggunakan gross split dengan total nilai bonus tanda tangan sebesar Rp13,3 triliun dan dana eksplorasi sebesar Rp31,5 triliun.
Yang lebih meyakinkan, sistem gross split juga diikuti oleh kontraktor migas yang punya nilai market besar di pasar global, seperti ENI, Repsol maupun Mubadala. "Jadi kalau dikatakan gross split hanya diminati perusahaan kecil, faktanya tidak seperti itu," tegas Arcandra. (KemenESDM)
"Kita punya dua pilihan, kalau tidak mau men-disrupt diri sendiri dengan perubahan yang sangat cepat, kita sendiri yang kena disrupt oleh perubahan yang cepat tersebut," kata Arcandra dalam Seminar Energi 2019 yang diadakan oleh Ikatan Alumni Teknik Geologi ITB Bandung di Energy Building Jakarta, Selasa (19/2).
Indikasi menurunnya geliat industri migas terlihat saat Pemerintah menawarkan blok-blok migas dalam kurun waktu dua tahun, yaitu 2015 dan 2016. "2015 tidak laku, begitu juga 2016. Kita mulai mendiskusikan kenapa tidak laku. Mulai dari harga minyak yang rendah hingga sistem rezim fiskal kurang mendukung," kata Arcandra.
Pemerintah, jelas Arcandra, kemudian mengambil sikap tegas dengan mengganti sistem rezim yang ada, cost recovery, menjadi sistem bagi hasil gross split. "Dari semua perdebatan, Kami memberanikan diri untuk men-disrupt sistem rezim fiskal yang ada," ungkapnya.
Arcandra menilai gross split mendapat respon positif yang ditandai dengan naiknya minat dunia usaha untuk menanamkan modalnya di Indonesia pada sektor migas. "Ada keyaknian dalam mengubah sistem fiskal itu tidak mudah, banyak tantangan dan banyak yang merasa sedikit terganggu dengan sistem yang belum dikenal ini," katanya.
Namun, fakta membuktikan setelah fiskal ini diterapkan oleh Pemerintah, tercatat hingga pertengahan Februari 2019, sudah ada 40 Wilayah Kerja (WK) Migas yang menggunakan gross split dengan total nilai bonus tanda tangan sebesar Rp13,3 triliun dan dana eksplorasi sebesar Rp31,5 triliun.
Yang lebih meyakinkan, sistem gross split juga diikuti oleh kontraktor migas yang punya nilai market besar di pasar global, seperti ENI, Repsol maupun Mubadala. "Jadi kalau dikatakan gross split hanya diminati perusahaan kecil, faktanya tidak seperti itu," tegas Arcandra. (KemenESDM)