Syafiq Pontoh dan Ngopi Kompas TV Minta Maaf
pada tanggal
Wednesday, August 29, 2018
JAKARTA, LELEMUKU.COM - Pegiat media sosial (medsos), Shafiq Pontoh menyatakan permintaan maaf secara kepada warga Ambon pada khususnya dan Maluku pada umumnya di program televisi, Ngopi di Kompas TV pada Selasa (28/8).
"Ini jadi pengingat yang saya simpan dan pelajaran juga untuk saya terima supaya saya lebih berhati-hati dan disini saya mengajukan permohonan maaf ketika apa yang saya sampaikan tidak sesuai dengan fakta dilapangan," ujar Pontoh dihadapan beberapa narasumber dari program yang disiarkan pada pukul 22.00 WIT itu.
Dihadapan narasumber diantaranya Walikota Ambon, Richard Louhenapessy, Aktivis Sosial Pendeta Jack Manuputty, Direktur Beta Kreatif Ikhsan Tualeka dan fasilitator Paparisa Ambon Bergerak M. Burhan Borut ia mengakui bahwa dirinya tidak pernah menyimpan pandangan buruk terhadap Maluku, hal ini dibuktikan dengan paritisipasi dan komunikasi yang dibangun dengan muda-mudi Malukus sejak 2009 lalu.
"Saya sudah berhubungan dengan teman-teman di Kota Ambon sejak 2009 dan pada 2011 kami membuat Sosial Media Fest dan bikin live streaming dari Jakarta, Yogya dan Ambon," ungkap dia.
Sementara terkait kasus salah pernyataan dirinya itu diakui bahwa data itu dikutip saat kunjungan pada 17 Maret 2017.
"Saat itu, saya tanya di suatu kelas dan itu tidak mengeneralisir seluruh masyarakat yang ada di Maluku dan di Ambon terkait sosial media. Saya tanya waktu itu dan saya mendapat beberapa jawaban dan jawaban itu yang seolah-olah saya mengeneralisir seluruhnya dan itu tidak benar," ungkap dia.
Setelah itu, co-founder di perusahaan konsultan bisnis dan riset, Provetic. dan inisiator acara media sosial di Indonesia, Sosial Media Festival, ini juga menyatakan bahwa itu adalah kesalahan fatal yang dilakukan oleh dirinya sendiri.
"Saya bertanya untuk tahu penggunaan sosial media disitu sudah seperti apa dan ketika saya tanya itu bukannya sebuah sampel dan disitu saya bertanya 'siapa yang menggunakan sosial media. Itu cuma sample (contoh) kecil saja, dan ketika saya mengeneralisirnya maka saya salah dan saya minta maaf juga ke teman-teman di Maluku dan di Ambon, sebab itu bukan data seperti riset tapi saya hanya tanya di satu kelas dan seolah-olah mengeneralisi satu Ambon dan menurut saya itu tidak tepat, apapun itu saya salah," ujar dia.
"Saya berterima kasih kepada teman-teman untuk dapat bertemu dan bertabayun. Saya juga pahami bahwa masyarakat di Maluku dan di Ambon seperti yang saya telah sampaikan, dan saya minta maaf," ungkap lulusan ilmu fisika dari Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
Sementara itu para pembawa acara tersebut juga menyampaikan permintaan maaf, Inaya Wahid menyatakan bahwa dirinya dan rekannya Nitia Anisa mengakui kesalahan pahaman yang dilakukan.
"Kita juga minta maaf untuk kesalahpahaman yang terjadi. Bahwa kemudian sikap-sikap melalui gestur yang kita munculkan tidak pernah dimaksudkan untuk merendahkan atau menghina," ujar Inaya.
"Kita belajar banyak bagaimana untuk mencoba memahami dari satu sudut saja, karna sangat mudah untuk melakukan sesuatu yang biasa kita lakukan," tambah Nitia Anisa.
Hal ini ditanggapi Fasilitator Paparisa Ambon Bergerak, Borut dengan menyatakan bahwa mewakili komunitasnya, ia telah memaafkan pernyataan Syarif Pontoh.
"Sehubungan dengan kejadian kemarin, teman-teman di Ambon menyesalkan pernyataan yang disampaikan. Tapi yang jelas Bang Syarif sudah minta maaf dan secara pribadi teman-teman memaafkan. Saya juga mengajak teman-teman yang lain juga ikut memaafkan," ucap dia.
Selanjutnya Direktur Beta Kreatif Ikhsan Tualeka menyatakan kekecewaan warga internet dari Maluku di Facebook muncul akibat pernyataan yang tidak akurat dari Syafiq.
"Kemarahan kolektif itu muncul karena, pertama, Bung Shafiq kurang akurat atau tidak akurat dalam memberikan data, lebih parah lagi jumlah yang sedikit itu secara qualitatif dan quantitatif langsung disimpulkan bahwa kita tertinggal," ujar dia.
Tualeka melanjutkan, kekecewaan ini juga muncul karena upaya pemulihan wajah Kota Ambon yang dirusak akibat konflik sektarian pada tahun 2000an terasa sia-sia akibat pernyataan tersebut.
"Hal ini menimbulkan kemarahan karena kita anak muda di Maluku, khususnya di Ambon sedang berusaha meninggalkan stigma yang tertinggal, belum maju. Ditengah-tengah itu, statemen Bro Shafiq begitu meninggalkan kesan bahwa kita masih tertinggal itu yang membuat kemarahan itu begitu muncul," jelas Co Produser Film Cahaya dari Timur itu.
Ia menyatakan faktanya di Kota Ambon,jumlah warga internet yang membagi status facebooknya dari Kota Ambon bisa mencapai 400 hingga 500 ribu orang pengguna. Hal positif yang menunjukkan bahwa kota tersebut mengalami peningkatan IT yang tajam tersebut seolah tidak dianggap oleh penggiat medsos seperti Pontoh.
"Kita disana juga bukanlah orang bekerja, bukan juga hanya kegiatan-kegiatan sosial dan kontribusinya bagi perdamaian ketika ada postingan orang yang memprovokasi dan nantinya cepat mengklarifikasi itu dan kemudian menjadi tenang. Saya juga punya pengalaman kemarin pada tahun 2017 kita bikin pemecahan rekor 4 kilometer bendera merah putih terpanjang. Jadi dibentangkan kemudian dijahit diatas jembatan merah putih dan orang bisa terlibat pada kegiatan itu semua digerakan melalui sosial media, khusunya lewat facebook dan instagram," beber dia.
Sedangkan Walikota Ambon, Richard Louhenapessy menyatakan bahwa pada dasarnya pemerintah Kota Ambon telah berusaha semaksimal mungkin menbentuk citra Ambon yang ramah teknologi.
"Kami bersyukur bahwa dengan IT, Ambon bisa sejajar dengan daerah lain. Karena Ambon itu jauh berada di ujung Timur Indonesia sehingga orang kadang-kadang memberikan persepsi yang keliru. Sekarang kami ada dorong back up fasilias kepentingan masyarakat, namun karena kapasitas anggaran terbatas maka kita sesuaikan dengan kondisi anggaran yang ada," ujar dia.
Louhenapessy menandaskan bahwa, peristiwa ini harus dijadikan pelajaran kepada siapa saja agar dapat lebih mengendalikan diri saat memberikan opini, apalagi terhadap hal-hal yang berada diluar keahlian dan kendali mereka, sehingga tidak menjadi bumbu menciptakan rasa benci antar warga negara Indonesia.
"Dari pengalaman yang kita temui ini, kita harus lebih berhati-hati memberikan komentar sebab bisa saja berkelakar dan bersenda gurau, tapi tanpa sengaja itu bisa viral. Jika viral, hal itu bisa saja ditanggapi positif, bisa juga direspon negatif dan itu bisa ciptakan disintegrasi," tegas dia. (Albert Batlayeri)
"Ini jadi pengingat yang saya simpan dan pelajaran juga untuk saya terima supaya saya lebih berhati-hati dan disini saya mengajukan permohonan maaf ketika apa yang saya sampaikan tidak sesuai dengan fakta dilapangan," ujar Pontoh dihadapan beberapa narasumber dari program yang disiarkan pada pukul 22.00 WIT itu.
Dihadapan narasumber diantaranya Walikota Ambon, Richard Louhenapessy, Aktivis Sosial Pendeta Jack Manuputty, Direktur Beta Kreatif Ikhsan Tualeka dan fasilitator Paparisa Ambon Bergerak M. Burhan Borut ia mengakui bahwa dirinya tidak pernah menyimpan pandangan buruk terhadap Maluku, hal ini dibuktikan dengan paritisipasi dan komunikasi yang dibangun dengan muda-mudi Malukus sejak 2009 lalu.
"Saya sudah berhubungan dengan teman-teman di Kota Ambon sejak 2009 dan pada 2011 kami membuat Sosial Media Fest dan bikin live streaming dari Jakarta, Yogya dan Ambon," ungkap dia.
Sementara terkait kasus salah pernyataan dirinya itu diakui bahwa data itu dikutip saat kunjungan pada 17 Maret 2017.
"Saat itu, saya tanya di suatu kelas dan itu tidak mengeneralisir seluruh masyarakat yang ada di Maluku dan di Ambon terkait sosial media. Saya tanya waktu itu dan saya mendapat beberapa jawaban dan jawaban itu yang seolah-olah saya mengeneralisir seluruhnya dan itu tidak benar," ungkap dia.
Setelah itu, co-founder di perusahaan konsultan bisnis dan riset, Provetic. dan inisiator acara media sosial di Indonesia, Sosial Media Festival, ini juga menyatakan bahwa itu adalah kesalahan fatal yang dilakukan oleh dirinya sendiri.
"Saya bertanya untuk tahu penggunaan sosial media disitu sudah seperti apa dan ketika saya tanya itu bukannya sebuah sampel dan disitu saya bertanya 'siapa yang menggunakan sosial media. Itu cuma sample (contoh) kecil saja, dan ketika saya mengeneralisirnya maka saya salah dan saya minta maaf juga ke teman-teman di Maluku dan di Ambon, sebab itu bukan data seperti riset tapi saya hanya tanya di satu kelas dan seolah-olah mengeneralisi satu Ambon dan menurut saya itu tidak tepat, apapun itu saya salah," ujar dia.
"Saya berterima kasih kepada teman-teman untuk dapat bertemu dan bertabayun. Saya juga pahami bahwa masyarakat di Maluku dan di Ambon seperti yang saya telah sampaikan, dan saya minta maaf," ungkap lulusan ilmu fisika dari Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
Sementara itu para pembawa acara tersebut juga menyampaikan permintaan maaf, Inaya Wahid menyatakan bahwa dirinya dan rekannya Nitia Anisa mengakui kesalahan pahaman yang dilakukan.
"Kita juga minta maaf untuk kesalahpahaman yang terjadi. Bahwa kemudian sikap-sikap melalui gestur yang kita munculkan tidak pernah dimaksudkan untuk merendahkan atau menghina," ujar Inaya.
"Kita belajar banyak bagaimana untuk mencoba memahami dari satu sudut saja, karna sangat mudah untuk melakukan sesuatu yang biasa kita lakukan," tambah Nitia Anisa.
Hal ini ditanggapi Fasilitator Paparisa Ambon Bergerak, Borut dengan menyatakan bahwa mewakili komunitasnya, ia telah memaafkan pernyataan Syarif Pontoh.
"Sehubungan dengan kejadian kemarin, teman-teman di Ambon menyesalkan pernyataan yang disampaikan. Tapi yang jelas Bang Syarif sudah minta maaf dan secara pribadi teman-teman memaafkan. Saya juga mengajak teman-teman yang lain juga ikut memaafkan," ucap dia.
Selanjutnya Direktur Beta Kreatif Ikhsan Tualeka menyatakan kekecewaan warga internet dari Maluku di Facebook muncul akibat pernyataan yang tidak akurat dari Syafiq.
"Kemarahan kolektif itu muncul karena, pertama, Bung Shafiq kurang akurat atau tidak akurat dalam memberikan data, lebih parah lagi jumlah yang sedikit itu secara qualitatif dan quantitatif langsung disimpulkan bahwa kita tertinggal," ujar dia.
Tualeka melanjutkan, kekecewaan ini juga muncul karena upaya pemulihan wajah Kota Ambon yang dirusak akibat konflik sektarian pada tahun 2000an terasa sia-sia akibat pernyataan tersebut.
"Hal ini menimbulkan kemarahan karena kita anak muda di Maluku, khususnya di Ambon sedang berusaha meninggalkan stigma yang tertinggal, belum maju. Ditengah-tengah itu, statemen Bro Shafiq begitu meninggalkan kesan bahwa kita masih tertinggal itu yang membuat kemarahan itu begitu muncul," jelas Co Produser Film Cahaya dari Timur itu.
Ia menyatakan faktanya di Kota Ambon,jumlah warga internet yang membagi status facebooknya dari Kota Ambon bisa mencapai 400 hingga 500 ribu orang pengguna. Hal positif yang menunjukkan bahwa kota tersebut mengalami peningkatan IT yang tajam tersebut seolah tidak dianggap oleh penggiat medsos seperti Pontoh.
"Kita disana juga bukanlah orang bekerja, bukan juga hanya kegiatan-kegiatan sosial dan kontribusinya bagi perdamaian ketika ada postingan orang yang memprovokasi dan nantinya cepat mengklarifikasi itu dan kemudian menjadi tenang. Saya juga punya pengalaman kemarin pada tahun 2017 kita bikin pemecahan rekor 4 kilometer bendera merah putih terpanjang. Jadi dibentangkan kemudian dijahit diatas jembatan merah putih dan orang bisa terlibat pada kegiatan itu semua digerakan melalui sosial media, khusunya lewat facebook dan instagram," beber dia.
Sedangkan Walikota Ambon, Richard Louhenapessy menyatakan bahwa pada dasarnya pemerintah Kota Ambon telah berusaha semaksimal mungkin menbentuk citra Ambon yang ramah teknologi.
"Kami bersyukur bahwa dengan IT, Ambon bisa sejajar dengan daerah lain. Karena Ambon itu jauh berada di ujung Timur Indonesia sehingga orang kadang-kadang memberikan persepsi yang keliru. Sekarang kami ada dorong back up fasilias kepentingan masyarakat, namun karena kapasitas anggaran terbatas maka kita sesuaikan dengan kondisi anggaran yang ada," ujar dia.
Louhenapessy menandaskan bahwa, peristiwa ini harus dijadikan pelajaran kepada siapa saja agar dapat lebih mengendalikan diri saat memberikan opini, apalagi terhadap hal-hal yang berada diluar keahlian dan kendali mereka, sehingga tidak menjadi bumbu menciptakan rasa benci antar warga negara Indonesia.
"Dari pengalaman yang kita temui ini, kita harus lebih berhati-hati memberikan komentar sebab bisa saja berkelakar dan bersenda gurau, tapi tanpa sengaja itu bisa viral. Jika viral, hal itu bisa saja ditanggapi positif, bisa juga direspon negatif dan itu bisa ciptakan disintegrasi," tegas dia. (Albert Batlayeri)