-->

Inilah Alasan Lo Kheng Hong Sebut Valuasinya Saham Bukalapak Sangat Mahal

Inilah Alasan Lo Kheng Hong Sebut Valuasinya Saham Bukalapak Sangat Mahal.lelemuku.com.jpg

JAKARTA, LELEMUKU.COM - Investor ritel kawakan Lo Kheng Hong membeberkan sejumlah alasannya tidak tertarik membeli saham IPO Bukalapak. Menurut dia, saham perusahaan teknologi itu tidak masuk dalam kriteria pilihannya.

Pria yang dijuluki Warren Buffet-nya Indonesia tersebut menyebutkan ada tiga kriteria perusahaan yang diperhatikannya dalam memilih dan membeli saham. Pertama, perusahaan tersebut harus dikelola oleh orang yang jujur dan berintegritas.

Kedua, perusahaan itu memiliki bidang usaha yang bagus. Ketiga, perusahaan tersebut harus memiliki catatan kinerja laba yang besar.

"Saya tidak beli Bukalapak karena tidak masuk kriteria ketiga saya. Bukan untung besar, rugi besar," ujarnya, seperti dikutip dalam webinar bertajuk 'Menjadi Investor Cerdas Bersama Lo Kheng Hong' yang ditayangkan di YouTube, Kamis, 29 Juli 2021.

Pak Lo, begitu ia sering disapa, menjelaskan, Bukalapak selama tiga tahun terakhir masih membukukan kerugian yang besar. Pada tahun 2018 dan 2019 perusahaan itu mencatat kerugian Rp 2,2 triliun dan Rp 2,8 triliun. Sedangkan tahun 2020 lalu, meski angkanya turun, Bukalapak masih merugi Rp 1,3 triliun.

Oleh karena itu, Lo Kheng Hong memutuskan tidak membeli saham Bukalapak. "Biarlah kalau orang lain mau beli, silakan," tuturnya.

Ia pun bergeming saat mendengar ada investor yang berencana membeli saham perusahaan e-commerce itu hingga Rp 80 triliun. "Saya dengar ada yang mau masuk US$ 8 miliar atau Rp 80 triliun. Saya gak ngikutin karena gak ikutin kriteria saya."

Selain itu, menurut Lo Kheng Hong, harga saham yang ditawarkan PT Bukalapak.com Tbk. juga terlalu mahal. Dalam hitungannya, nilai buku per lembar saham atau Book Value per Share-nya saat ini hanya sekitar Rp 21, tapi harga saham saat penawaran IPO dipatok di Rp 850 per lembar saham. "Tentu valuasinya bagi saya sangat mahal," ucapnya.

Bagi Pak Lo yang menganut aliran value investing, investor cerdas itu membeli perusahaan yang valuasinya murah. "Ibaratnya Mercy dijual seharga Avanza," katanya.

Ia pun mengaku tak akan merasa rugi jika di kemudian hari Bukalapak bisa meraup keuntungan besar dan nilai sahamnya naik setelah IPO karena oversubscribbed, misalnya. "Kalaupun nanti naik, itu rejekinya orang lain. Bukan rejeki saya," tutur Lo Kheng Hong.

Bukalapak sebelumnya telah mendapatkan pernyataan efektif penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Senin, 26 Juli 2021. Perusahaan menetapkan harga Rp 850 per lembar saham ke masyarakat.

Adapun masa penawaran umum perdana saham dimulai per Selasa, 27 Juli 2021, hingga Jumat, 30 Juli 2021. Sementara tanggal penjatahan dijadwalkan pada 3 Agustus 2021, serta tanggal distribusi saham secara elektronik dan tanggal pengembalian uang pesanan dijadwalkan masing-masing pada 5 Agustus 2021.

Bukalapak akan melaksanakan pencatatan perdana saham pada 6 Agustus 2021 di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode saham BUKA. Perusahaan e-commerce ini melepas 25,76 miliar lembar saham biasa atas nama yang seluruhnya adalah saham baru atau 25 persen dari modal ditempatkan dan disetor perseroan setelah IPO. Adapun jumlah seluruh nilai IPO saham itu mencapai Rp 21,9 triliun.

Dalam pelaksanaannya, Bukalapak menunjuk PT Mandiri Sekuritas dan PT Buana Capital Sekuritas sebagai penjamin pelaksana emisi efek. Adapun PT UBS Sekuritas Indonesia dan PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia telah juga ditunjuk untuk bertindak sebagai penjamin emisi efek

Dalam penjelasannya, Bukalapak menyebutkan kerugian timbul karena masih tingginya beban penjualan dan pemasaran yang mencapai Rp 1,51 triliun dan juga beban umum dan administrasi Rp 1,49 triliun. Sedangkan pendapatan Bukalapak pada akhir tahun lalu mencapai Rp 1,35 triliun, naik 25,56 persen dibandingkan 2019 Rp 1,07 triliun.

Adapun total aset konsolidasian perseroan per akhir Desember 2020 sebesar Rp 2,59 triliun, atau naik 26,29 persen dari tahun sebelumnya Rp 2,05 triliun. Hal ini dipicu lonjakan kas dan setara kas konsolidasian sebesar 67,93 persen atau senilai Rp 600 miliar, serta kenaikan aset pajak tangguhan konsolidasian senilai Rp 477,79 miliar.

Bukalapak selama 11 tahun terakhir mengklaim punya model bisnis yang terbukti sehat. Hingga akhir tahun lalu, Total Processing Value (TPV) perseroan mencapai Rp 85 triliun. Per 31 Desember 2020 tercatat 104,9 juta pengguna yang  sekitar 70 persen transaksi berasal dari kota-kota di luar wilayah tier 1.

Chief Executive Officer (CEO) PT Bukalapak.com Tbk Rachmat Kaimuddin mengatakan dari 2018 hingga 2020 rata-rata tingkat pertumbuhan tahunan (compound annual growth rate/CAGR) pendapatan perseroan mencapai 115 persen. Pada 2020 pendapatan Bukalapak sebesar Rp 1,35 triliun.(Rr. Ariyani Yakti Widyastuti| Tempo)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel