Sambutan Presiden Joko Widodo pada Penyerahan Surat Keputusan Pengelolaan Perhutanan Sosial, 8 Februari 2019, di Wana Wisata Pokland Haurwangi, Cianjur, Jawa Barat
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulillahirrabbilalamin,
wassalatu wassalamu ‘ala ashrifil anbiya i wal-mursalin,
Sayidina wa habibina wa syafiina wa maulana Muhammaddin,
wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in amma ba’du.
Yang saya hormati Pak Menko Perekonomian, Bu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bu Menteri BUMN, Pak Menteri Sekretaris Negara,
Yang saya hormati Pak Gubernur Jawa Barat beserta Bapak Bupati Kabupaten Cianjur,
Serta Bapak-Ibu sekalian seluruh penerima Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk yang berkaitan dengan hutan sosial,
Sudah pegang ini semuanya, ya? Coba diangkat yang sudah terima. Tadi yang disampaikan kepada saya hari ini dibagikan 13.900 hektare, bukan meter persegi lho ya, hektare, untuk 8.900 KK. Artinya satu KK mendapatkan kurang lebih 1,5 hektare.
Dulu-dulu, ini lahan-lahan ini banyak dibagikan kepada yang gede-gede. Benar? Sekarang kita berikan kepada rakyat dalam bentuk surat keputusan seperti ini. Ini untuk 35 tahun, tapi status hukumnya jelas, Bapak-Ibu pegang ini bisa mengelola 35 tahun.
Bapak umur berapa? 65? Oh, 45? 45 ditambah 35 berapa? 80. Cukup ndak? Ada yang umur tadi 60 saya tanya di sana, 60 tahun ditambah 35, 95. Cukup ndak 35 tahun? Kalau ini sudah… ini sudah kayak di, “nih kelola” begitu. Beda kalau hanya tanda tangan kontrak setiap tahun. Ada yang setiap tahun tanda tangan, setiap tahun tanda tangan. Ini 35 tahun, saya ulangi 35 tahun, dan jelas, status hukumnya menjadi jelas.
Tapi saya ingatkan, kalau sudah kita berikan seperti ini, ini jangan dipikir tidak saya cek. Setiap tahun akan saya cek ini. Digunakan atau tidak, diterlantarkan atau tidak, produktif atau tidak. Setuju ndak? Sudah diberikan ternyata enggak diapa-apain. Iya kan? Harus produktif. Silakan, mau dipakai untuk menanam kopi silakan; cengkih, cengkih silakan; dipakai menanam buah-buahan, silakan; pala silakan. Apalagi? Tadi kopi silakan. Apa, durian? Durian juga silakan.
35 tahun. Ada yang omong tidak cukup 35 tahun? Silakan maju. Cukup enggak 35 tahun? 35 tahun sudah lebih dari cukuplah. Kalau ada yang bilang 35 tahun enggak cukup silakan maju. Silakan maju saya beri sepeda. Tapi ada alasannya kenapa tidak 35 tahun. Iya.
Jadi ini, sekali lagi, ini yang sudah kita berikan dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote itu sudah 2,53 juta hektare, selama dua tahun. Selama dua tahun sudah 2,5 juta hektare. Target kita memang tidak kecil. Saya berikan kepada Ibu Menteri 12,7 hektare, 12,7 juta hektare. Lupa jutanya tadi. Terus akan kita berikan, terus akan kita berikan supaya tanah itu menjadi jelas kepada siapa diberikan. Tanah itu menjadi produktif, tidak diberikan ke yang gede-gede seperti yang lalu-lalu. Setuju enggak? Masak ada yang diberi sampai 200 ribu hektare, ada yang 300 ribu hektare. Rakyat mau mengelola satu hektare saja sulit. Sama, yang gede-gede sekarang kalau saya lihat tidak produktif, tidak dipakai, ya saya ambil lagi. Sini, sini, saya berikan nanti kepada rakyat.
Coba tunjuk jari tadi yang menanam kopi siapa? Kok semua menanam kopi ini? Menanam kopi, menanam kopi. Ya, boleh. Silakan Pak. Yang sana yang belakang. Ya, Bapak ini iya yang menanam kopi.
Yang menanam apalagi? Durian, tadi ada yang durian. Durian, silakan durian. Saya senang durian.
Ada yang tanam padi? Padi, boleh padi. Taman padi mana yang tanam padi? Sebentar. Sebentar. Yang tanam padi. Indramayu mana tanam padi? Ya, boleh. Ya, Pak silakan tanam padi.
Ada yang menanam apalagi? Pala? Ada yang menanam pala? Hanya satu. Apalagi? Buah-buahan ada ndak, buah-buahan? Buah-buahan, buah-buahan, coba yang menanam buah-buahan? Ya yang pakai topi, Pak. Belakang itu pakai topi. Ya, iya maju yang pakai topi. Ya, belakang itu, ya buah-buahan.
Yaya (Petani Kopi dari Kabupaten Bandung)
(Petani kopi arabika di lahan satu hektare, di antara kopi juga ditanami pohon pisang, kayu putih, alpukat, jengkol, dan nangka. Sekali panen bisa mendapatkan enam ton kopi. Harga jual kopi sekitar Rp7.000-8.000, total mendapatkan pendapatan kotor Rp40 jutaan setahun. Biaya untuk produksi setengah dari pendapatan kotor.)
Suparno (Petani Padi dari Kabupaten Indramayu)
(Menanam padi dan jagung di lahan masing-masing satu hektare. Untuk padi sekali panen mendapatkan sekitar tujuh ton-an (pendapatan kotor Rp35 juta) dan untuk jagung mendapatkan empat ton, dengan harga penjualan jagung kering Rp3.500 per kilogram, sementara biaya produksi jagung satu kilogram adalah kurang lebih Rp2.000.)
Karin (Petani Padi dari Kabupaten Indramayu)
(Satu bahu menghasilkan empat setengah ton, kalau satu hektare hampir enam ton. Selain menanam padi juga menanam mangga, pisang, nangka, dan petai.)
Tumi’in (Petani dari Kabupaten Ciamis)
(Baru membuka lahan setelah sebelumnya menanam pohon jati di lahan milik Perhutani. Sekarang ingin menanam durian dan tumpang sari dengan kencur, pisang, dan buah-buahan lainnya. Bibit durian mudah didapatkan tapi harganya mahal sehingga mengharapkan dapat diberikan bibit oleh Presiden.)
Presiden Republik Indonesia
Oke nanti saya omong ke Menteri Pertanian, punya kok kelihatannya, bibit durian. Itu Pak Menteri langsung itu, dibisiki tadi sama Pak Menteri, “tulis namanya”. Segar ini, sudah dapat bibit durian.
Ya, saya rasa itu. Terima kasih semuanya.
Bapak-Ibu sekalian yang saya hormati,
Memang negara kita ini subur, mau ditanam apa di setiap tempat berbeda-beda itu bisa. Ada yang tanam kopi, silakan, bisa. Ada yang untuk padi, silakan padi. Ada yang untuk durian silakan. Tadi untuk apalagi? Untuk jagung silakan, untuk pala tadi silakan. Tapi itu, memang kita harus kerja keras. Kalau sudah menanam ya dipelihara yang benar, diawasi jangan sampai kena hama, jangan sampai tanaman kita enggak terawat. Kalau kurang ya diberi pupuk sedikit-dikit. Ya memang harus seperti itu.
Inilah tugas kita bersama untuk menjadikan setiap lahan yang kita miliki itu produktif. Jangan sampai lahan yang sudah kita berikan, yang diberikan tadi di Jawa Barat 13.900 hektare, tapi tidak produktif. Harus semuanya produktif. Dan ini sebentar lagi, bulan depan kita berikan lagi karena sudah numpuk lagi ada yang untuk Jawa Barat sudah mau kita berikan lagi. Terus, akan terus kita kerjakan. Tidak hanya di Provinsi Jawa Barat tapi juga di provinsi-provinsi yang lain.
Tadi yang menanam durian tadi mana? Maju lagi. Biasanya yang saya suruh ke depan kan saya beli sepeda, ini karena mau pilpres enggak boleh ngasih sepeda, ya sudah saya kasih foto. Ini fotonya, foto langsung jadi ini tadi. Sudah, oke. Fotonya mahal lho itu, Pak. Itu kalau ditukar sepeda bisa dapat sepuluh karena di sini ada tulisannya itu ‘Istana Presiden Republik Indonesia’. Ini kayak begini. Mana tadi yang menanam padi sama kopi tadi maju? Oke, ini Pak. Sudah. Oke, ya baik.
Baiklah Bapak-Ibu sekalian,
Saya rasa yang berhubungan dengan hutan sosial itu yang bisa saya sampaikan.
Yang terakhir, yang terakhir saya titip kepada Bapak-Ibu semuanya, negara kita ini negara besar. Kita diberi anugerah oleh Allah perbedaan-perbedaan, berbeda-beda, berbeda-beda. Berbeda suku, berbeda agama, berbeda adat, berbeda tradisi, berbeda bahasa daerah, beda-beda semuanya.
Negara ini negara besar. Penduduk kita sekarang sudah 260 juta, 260 juta. Coba kalau kita lihat tadi, berbeda-beda kan? Tadi ada yang dari Jawa pakaiannya beda, dari Melayu pakaiannya beda, dari Dayak pakaiannya berbeda, dari Lampung pakaiannya berbeda, dari Sumbar pakaiannya berbeda, berbeda-beda semuanya. Ya, inilah negara kita Indonesia.
Saya titip, saya titip, aset terbesar bangsa ini adalah persatuan, adalah kerukunan. Inilah yang harus kita jaga. Inilah yang harus kita pelihara, kita rawat bersama-sama. Kita jaga ukhuwah kita, ukhuwah islamiah kita kita jaga, ukhuwah wathaniyah kita kita jaga. Jangan sampai gara-gara, ini dimulai mesti karena urusan politik, jangan sampai karena pilihan bupati, karena pilihan gubernur, karena pilihan wali kota, karena pilihan presiden, kita tidak seperti saudara lagi, tidak rukun lagi. Jangan sampai itu terjadi di antara kita. Setuju ndak?
Silakan yang namanya pilkada, pemilu itu adalah memilih. Pilihan beda tidak apa-apa, pilihan beda tidak masalah, enggak apa-apa. Memang itu pesta demokrasi. Tapi jangan sampai karena pilihan bupati enggak saling omong antarkampung. Ada itu, ada. Benar ndak? Karena pilihan gubernur tidak omong, tidak saling sapa antartetangga. Ada itu. Benar ndak? Karena pilihan presiden, di satu majelis taklim tidak saling bicara. Ada itu. Saya omong ini karena saya tahu ada. Inilah yang seharusnya tidak terjadi, karena setiap lima tahun itu akan ada pilihan terus. Pilihan presiden setiap lima tahun ada, pilihan bupati setiap lima tahun ada, pilihan gubernur setiap lima tahun ada, pilihan wali kota setiap lima tahun ada terus. Itu pesta demokrasi. Harusnya kita anggap biasa.
Hanya kalau ada misalnya pilihan bupati calonnya empat, ada yang pilihan gubernur calonnya tiga, ya dilihat saja, kandidatnya itu dilihat. Punya pengalaman ndak memegang sebuah pemerintahan. Punya prestasi ndak, prestasinya apa dilihat. Programnya baik ndak untuk rakyat. Iya kan? Idenya, gagasannya bagus ndak untuk rakyat. Dilihat itu saja, sudah gampang. Enggak usah tidak saling omong, tidak usah tidak saling menyapa dalam kampung, antartetangga. Gampang banget.
Dan jangan dengerin yang namanya fitnah-fitnah. Sekarang ini fitnah di mana-mana kalau sudah masuk ke tahun politik seperti ini. Fitnah, isinya fitnah-fitnah. Hati-hati hoaks di mana-mana, semburan dusta semakin banyak di mana-mana. Hati-hati, hati-hati, saya titip ini saja hati-hati. Gunakan rasionalitas kita, gunakan pikiran kita. Jadi kalau ada kabar-kabar ini dipikir, kita pikir masuk akal ndak. Sering kita ini kan emosionalnya dulu yang didahulukan. Gunakan ini. Jadi kalau Cak Lontong omong itu, “mikir… mikir… mikir…,” begitu.
Jadi kalau ada yang fitnah apa, fitnah apa, ini dulu, “oh iya, oh ya ini enggak logis ini, ini fitnah ini, ini hoaks ini, enggak usah didengarin,” begitu. Wong sekarang ini di mana-mana. Sudah empat tahun ini kan saya diam saja. Saya difitnah, sudah diam saja, sabar saya.
Presiden Jokowi itu PKI. Iya, ndak? Sudah empat tahun ini beredar di mana-mana.
Ada lagi kriminalisasi ulama. Lho, lho lho, lho, lho, lho. Kriminalisasi ulama bagaimana? Saya hampir setiap minggu itu keluar masuk pondok pesantren, setiap hari dengan ulama. Iya kan? Logikanya, ya kalau ada misalnya ulama ini kan ribuan, ribuan. Kalau ada satu yang punya kasus hukum ya jangan terus diistilahkan kriminalisasi. Kalau ada kasus hukum, ya pasti masuk ke aparat hukum. Kalau kriminalisasi itu kalau enggak ada masalah kemudian dimasukkan sel, itu yang namanya kriminalisasi. Kalau punya masalah, ada masalah hukum ya pasti dipanggil oleh aparat hukum.
Ada, Presiden Jokowi itu anti-Islam. Anti-Islam bagaimana? Yang tanda tangan Hari Santri itu siapa? Ya kalau anti-Islam enggak mungkin dong saya tanda tangan Hari Santri. Bagaimana ini? Yang mendirikan Bank Wakaf Mikro itu siapa? Yang mendirikan BLK untuk pondok-pondok pesantren itu siapa? Ya saya sebetulnya kemarin-kemarin enggak omong, sekarang saya harus omong. Bukan marah lho ya, omong. Jangan dilihat saya marah, ndak, saya hanya mau menanggapi. Saya ingin omong, kalau ndak nanti fitnahnya ke mana-mana, fitnahnya ke mana-mana. Kalau enggak saya omong ini fitnahnya ke mana-mana.
Ada antek asing. Presiden Jokowi itu antek asing. Antek asing yang seperti apa? Itu coba Blok Mahakam, namanya Blok Mahakam, itu blok minyak besar sekali dikelola oleh yang namanya Inpex sama Total, Inpex itu dari Jepang, Total itu dari Perancis. Sudah lebih dari 50 tahun, lebih dari 50 tahun dikelola mereka. Sudah 2015 kita ambil, saya berikan pada Pertamina, 100 persen saya berikan kepada Pertamina. Tapi kan saya enggak pernah omong. Karena saya dituding-tuding antek asing, saya sekarang omong. Yang antek asing siapa coba kalau seperti itu?
Kemudian Blok Rokan yang digarap Chevron dari Amerika. Ini sudah dikelola 90 tahun, 90 tahun. Tahun kemarin sudah dimenangkan 100 persen oleh Pertamina. 100 persen oleh Pertamina, BUMN kita. Kalau ingin detail nanti tanya ke Bu Rini, Menteri BUMN.
Kemudian Freeport. Saya kira Saudara-saudara tahu semuanya Freeport ya? Deposit emas, deposit tembaganya terbesar di Indonesia, di sana. Sudah lebih dari 40 tahun dikelola oleh Freeport McMoran dari Amerika. Desember 2018 kemarin, akhir Desember, mayoritas sudah kita ambil 51,2 persen. Mayoritas kita ambil. Mayoritas itu artinya apa? Pengendali sekarang ada di kita, pengendalinya ada di kita. Begitu dibilang antek asing, antek asing. Ndak marah lho ya ini, ndak marah. Cuma memberikan informasi. Antek asingnya yang mana begitu?
Dipikir mudah ambil alih seperti itu? Dipikir gampang? Kalau gampang, dulu-dulu sudah diambil alih itu. Iya ndak? Dipikir enggak ada intrik politik? Dipikir enggak ada tekanan-tekanan politik mengambil alih seperti itu. Untungnya saya itu kurus. Ya kurus itu ditekan sini bisa belok sini, tekan sini bisa belok sini, begitu. Tekan-tekan lama-lama… Empat tahun kita negosiasi Freeport itu, empat tahun. Sabar dan terus saya dorong menteri-menteri. Bu Menteri BUMN Bu Rini, Pak Menteri Jonan terus saya dorong. Bu Menteri Keuangan terus saya dorong. Sudah, ini terus, jangan mundur. Negosiasi alot memang tapi terus jangan mundur. Terus, saya dorong terus sampai akhirnya dapat. Begitu di bawah malah dibilang antek asing.
Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Saya sangat menghargai pertemuan ini, pembagian ini juga. Dan ini akan terus kita lanjutkan sampai 12,7 juta hektare itu semuanya bisa diberikan kepada rakyat.
Saya tutup.
Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Terima kasih karena telah membaca informasi tentang Sambutan Presiden Joko Widodo pada Penyerahan Surat Keputusan Pengelolaan Perhutanan Sosial, 8 Februari 2019, di Wana Wisata Pokland Haurwangi, Cianjur, Jawa Barat . Silahkan membaca berita lainnya.