-->

Ketua PWI Riau Jadi Saksi Ahli Di PN Pekanbaru Terkait Dugaan Pelanggaran UU ITE Terhadap Redaksi HB

Ketua PWI Riau Jadi Saksi Ahli Di PN Pekanbaru Terkait Dugaan Pelanggaran UU ITE Terhadap Redaksi HB

MEDIA NASIONAL OBOR KEADILAN | RIAU |  [ 02 Oktober 2018 ]  Agenda sidang ke 12 terkait kasus dugaan kriminalisasi terhadap Redaksi Harian Berantas, Toro, yang digelar PN Pekanbaru, Senin (01/10/18) sore, Jaksa Penuntut Umum menghadirkan Ketua PWI dan Ketua SPS cabang Riau, Zulmansyah Sjkedang guna dimintai keterangannya sebagai saksi Ahli dihadapan majelis hakim.

Pada persidangan tersebut, Zulmansyah Sukedang diberi beberapa pertanyaan oleh Majelis Hakim mengenai permasalahan yang sedang di sidangkan.

Dimana Majelis Hakim menanyakan beberapa pertanyaan mengenai pemberitaan dari Media Pers Harian Berantas itu bisa dilaporkan tanpa harus mematuhi aturan dari Dewan Pers.

Kedua, Majelis Hakim juga mempertanyakan apakah ada aturan dari Dewan Pers Yang menegaskan wartawan didalam pemberitaan tidak bisa diberikan sanksi pidana kemudian Majelis Hakim juga menambahkan apakah media Toro ini telah lulus verifikasi dan apakah suatu perusahaan media harusnya terdaftar di Pemda untuk bisa beroperasi atau tidak.

Dari beberapa pertanyaan tersebut ternyata jawaban dari Saksi Ahli sungguh mengejutkan, yang mana dirinya mengatakan bahwasanya ketika di suatu pemberitaan yang diterbitkan oleh suatu perusahaan media yang diduga membuat berita yang dinilai merugikan orang lain, maka wartawan tersebut biasa dilaporkan ke pihak Kepolisian tanpa harus menunggu surat dari Dewan Pers sampai ke media yang bersangkutan.

Saksi Ahli juga menerangkan bahwa masalah perusahaan Pers yang ada harus mempunyai legalitas yang jelas dan terdaftar di Pemda dan apabilla suatu media tersebut tidak terdaftar di Pemda tidak boleh beroperasi.

Ia  Zulmansyah Sukedang menyebutkan bahwa rekomendasi dari Dewan Pers itu adalah suatu teguran tertulis untuk suatu perusahaan tersebut yang dinilai  menyajikan berita yang salah dan apabila dinilai benar maka surat dari Dewan Pers tidak akan di keluarkan oleh Dewan Pers.

Kemudian saat Kuasa Hukum terdakwa Toro menanyakan soal Hak Tolak saksi ahli menjelaskan bahwa yang dimaksud hak tolak adalah memindahkan tanggung jawab dari narasumber ke insan Pers selaku penulis berita.

"Jadi Hak Tolak itu adalah merahasiakan nama nara sumber dan memindahkan tanggung jawab dari apa yang di ucapkan oleh nara sumber ke Wartawan tersebut, jadi kalau apa yang dikatakan nara sumber salah, maka wartawannya yang akan dipersalahkan dan menanggung resikonya.

Keterangan dari saksi ahli tersebut sungguh sangat mengherankan karena seharusnya seperti yang telah diatur dalam UU Pers No 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang mana di dalamnya jelas diatur sebagaimana dijelaskan dalam pokok Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”) yang meliputi:

1. Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. [1]

2. Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh Pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. [2]

Hak jawab dan hak koreksi merupakan suatu langkah yang dapat diambil oleh pembaca karya Pers Nasional apabila terjadi kekeliruan pemberitaan, utamanya yang menimbulkan kerugian bagi pihak tertentu.

Upaya yang dapat ditempuh akibat pemberitaan Pers yang merugikan dalam kasus yang Anda hadapi dan dengan merujuk pada asumsi kami di atas, kami berpandangan bahwa Anda sebagai pihak yang dirugikan secara langsung atas pemberitaan wartawan memiliki Hak Jawab untuk memberikan klarifikasi atas pemberitaan tersebut.

Lebih lanjut, langkah berikutnya yang dapat Anda lakukan adalah membuat
pengaduan ke Dewan Pers.

Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan Pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.
[3]

Dewan Pers Indonesia mendefinisikan
pengaduan sebagai kegiatan seseorang, sekelompok orang atau lembaga/instansi yang menyampaikan keberatan atas karya dan atau kegiatan jurnalistik kepada Dewan Pers. [4]

Salah satu fungsi Dewan Pers yaitu
memberikan pertimbangan dan
mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. [5]

Sementara untuk hak tolak bukan memindahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada si penulis tetapi Jurnalis hanya bisa mengungkapkan nama Narasumber di persidangan dan apabila seorang kuli tinta lebih memilih diam dari pada menyebutkan nama nara sumber, maka Jurnalis tersebut bisa di pidana sesuai dengan apa yang di jelaskan dalam hukum hak tolak Wartawan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (4) UU Pers serta pasal 170 KUHAP.

Khususnya pasal 4 ayat 4 UU Pers yang mengatur soal hak tolak wartawan.

Dan mengenai pemberitaan yang di suguhkan oleh media yang diduga mencemarkan nama baik bisa di Pidana, tentu tidak sesuai dengan aturan UU Pers sesuai dengan pasal 3 UU Pers menyatakan salah satu fungsi Pers Nasional adalah melakukan kontrol sosial.

Karena tugas jurnalistik yang dilakukan oleh insan Pers dianggap sebagai perintah undang-undang Pers, maka jurnalis yang menjalankan tugas jurnalistik itu tidak bisa dipidana.

Argumen lain adalah pasal 310 KUHP yang menyatakan bahwa pencemaran nama baik bukan pencemaran nama baik bila dilakukan untuk kepentingan umum.

Berdasarkan pasal 6 UU Pers, pers nasional melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Bila undang-undang Pers digunakan, menurut Hinca, jika ada masyarakat yang merasa dirugikan atau dicemarkan nama baiknya oleh pemberitaan Pers, ia harus
menggunakan hak jawabnya dan Pers wajib melayani hak jawab itu.

Kalau Pers tidak mau memuat hak jawab tersebut, UU Pers mencantumkan ancaman denda Rp500 juta.

Kalau hak jawab sudah dilayani utuh, maka problem selesai. Ia mengatakan, setelah hak jawab digunakan, pihak yang dirugikan tidak dapat lagi mengajukan gugatan perdata terhadap pers.

Jadi Intinya dalam UU Pers ancaman hukuman bagi Pers yang melakukan kesalahan adalah pidana denda, bukan penjara.

Adapun pidana penjara ditujukan bagi orang yang menghalang-halangi kerja jurnalistik seperti yang ditetapkan dalam UU Pers No 40 Tahun 1999.

Sementara Hak tolak wartawan, dalam penjelasan pasal tersebut dimaksudkan sebagai hak tolak untuk tidak mengungkapkan identitas narasumber dalam pemberitaan.

Narasumber disini artinya narasumber anonim, narasumber yang identitasnya sengaja disembunyikan.

Artinya, wartawan hanya mempunyai hak tolak untuk menyebutkan identitas narasumber anonim dalam proses peradilan.

Entah sebagai saksi di tingkat penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan.

Hak tolak hanya gugur lewat putusan pengadilan, dengan alasan kepentingan dan ketertiban umum.

Seperti biasa, kepentingan dan ketertiban umum ini tidak pernah mempunyai definisi yang jelas.

Jika hak tolak digugurkan, wartawan wajib untuk menyebutkan identitas narasumber namun jika tidak, maka jurnalis dapat dihukum.  (***)

Editor : Redaktur
Penanggung Jawab Berita : Obor Panjaitan 
Terima kasih karena telah membaca informasi tentang Ketua PWI Riau Jadi Saksi Ahli Di PN Pekanbaru Terkait Dugaan Pelanggaran UU ITE Terhadap Redaksi HB . Silahkan membaca berita lainnya.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel